Jumat, 11 Maret 2016

KETIKA MARAH

    
Coba bayangkan jika ada seseorang pendeta yang datang masuk ke gereja, lalu ketika melihat ada orang yang berjualan di halaman lalu menjadi marah. Tidak sampai disitu saja, dia membuat cambuk lalu menunggangbalikkan semua meja-meja dan memarahi orang-orang  yang melakukan perdagangan . Andi pasti langsung menghakimi bahwa penderta tersebut berlebihan, arogan bahkan terkesan gila.

           Itulah yang terjadi pada Kristus yang tertuang dalam injil Yohanes 2 : 13-16, Kristus marah dan bertindak seperti orang yang gila sebelum Dia akhirnya menjelaskan segala tindakan tersebut. Marah karena Bait Allah dikotori dengan tindakan jual beli dengan mengotori Bait Allah. Padahal Bait Allah adalah tempat yang kudus, tetapi telah kehilangan maknanya karena perdagangan. Seringkali kita menganggap marah itu tidak perlu, pada satu titik marah boleh saja asal dengan tujuan yang jelas. Marahlah jika itu tindakan terakhir setelah menasehati dan menegur. Marah jangan disertai dengan tindakan fisik tapi dengan tujuan supaya orang tersebut bisa lebih baik. Marah jangan tentang pribadi orang tersebut, lebih kepada tindakannya.

            Akhir-akhir ini, Gubernur Ahok sering dibilang pemarah. Menurut penulis, tidak apa-apa asal dia menegur untuk menyatakan kebenaran dan tidak serta merta untuk tiap kali. Marah itu hal yang lumrah. Marah karena carut marut penguasa terdahulu dalam menjalankan pemerintahan dan untuk membangunkannya perlu dengan caraq yang diluar kebiasaan, mungkin ketegasan dan terlihat keras. Jadi marahlah jika itu perlu dan ini merupakan tindakan terakhir setelah upaya lain sudah dilakukan.