Sabtu, 19 Maret 2011

PELAJARAN DARI TSUNAMI JAPAN

"…. Orang-orang di pengungsian membantu kami dengan baik dan memberi makan yang cukup. Para pengungsi lain ramah dan menyenangkan. Tetangga kami juga sangat baik, ia mengizinkan kami memompa air dari sumurnya secara gratis. Kita harus tahu bahwa kita masih memiliki rasa kebersamaan. Terima kasih semua orang!”

Masayuki Aihara, warga Fukushima -kota yang kini dalam ancaman kebocoran radioaktif dari pembangkit listrik tenaga nuklir- menulis surat pembaca di koran The Japan Times, Kamis (17/3). Ia adalah salah satu korban bencana gempa dan tsunami yang melanda Jepang, 11 Maret lalu.

”Saudara perempuan saya hidup di Sendai, kakak lelaki saya di Shiogama, dan satu saudara lainnya di Onigawa. Semua kota itu nyaris rata akibat tsunami. Saya tidak bisa menghubungi mereka melalui telepon sampai sekarang. Keluarga saya sendiri tinggal di pengungsian di dekat rumah,” tulis Aihara.

Surat pembaca itu mewakili sebagian besar suara korban bencana di Jepang. Suasana yang sama terasa di tempat-tempat penampungan di daerah terparah terpapar bencana, seperti Sendai dan Kesennuma di Prefektur Miyagi.

Nyaris tak ada keluh kesah dari korban bencana. Di tengah hujan salju dan suhu dingin yang mencapai minus 4 derajat celsius, orang-orang antre makanan dengan tertib. Di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar, ratusan mobil antre hingga lebih dari 5 kilometer, tetapi tetap berjalan dengan teratur. Tak ada yang menyerobot, tak ada teriakan kegusaran. Antrean yang sama terjadi di beberapa pusat pertokoan yang masih buka. Tertib, semuanya tertib dan berbaris rapi.

Tak ada penjarahan sekalipun sebagian di antara mereka kekurangan makan. Di kawasan pegunungan di Ichinoseki, Prefektur Iwate, beberapa orang tua memakan sayur mentah yang baru diambil dari kebun. Distribusi makanan dan bahan bakar menjadi masalah di beberapa tempat. Pemerintah Jepang dan media massa lebih tersedot perhatiannya pada kebocoran reaktor nuklir Fukushima.

Namun, saat ditawari onigiri yang kami bawa, para korban itu menolak. ”Kami masih punya nasi. Kalian dari jauh dan perjalanannya masih lama. Itu untuk bekal kalian saja atau untuk yang lebih membutuhkan,” kata sepasang kakek-nenek, yang menumpang mobil tim evakuasi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jepang. Keduanya menumpang setelah berjalan berkilometer di tengah badai salju untuk mencari keluarga mereka yang hilang.

Bersahaja

Kamis malam, suasana di pusat pengungsian kota Kesennuma, Prefektur Miyagi, tertata rapi. Anak-anak bermain di ruang khusus, yang tertutup kaca-kaca transparan, dengan berbagai macam permainan.

Orang tua yang sakit, ibu hamil, dan bayi juga mendapat ruangan khusus. Sementara di ruangan utama, ratusan orang tidur bersama tanpa sekat. Mereka menandai ruangannya berdasarkan selimut dan matras. Sepatu kotor ditata rapi di pintu masuk ruangan atau di masukkan dalam plastik di dekat tempat tidur mereka.

Di ruangan inilah 17 warga negara Indonesia yang bekerja sebagai anak buah kapal Yahata 35 turut mengungsi sejak tiga hari terakhir. ”Kami diterima dengan ramah di sini. Diberi makan dan tidak dibedakan,” kata M Irham (31), anak buah kapal asal Tegal, Jawa Tengah. Irham dan kawan-kawannya selamat dari tsunami karena berlindung di escape building, semacam bangunan parkir mobil di dermaga yang sengaja dirancang sebagai pelarian saat terjadi tsunami.

Bahkan, para korban dari Indonesia ini sedikit dimanjakan. Beberapa pengungsi yang bersimpati terkadang memberi mereka kue. ”Mereka memaksa saya agar menerima kue karena saya dianggap lebih menderita dari mereka. Alasannya, saya jauh dari keluarga,” kata Irham.

Ketika tiba saat makan, petugas membagikan dua bungkus onigiri. Walaupun hanya berupa nasi sekepal tangan dengan rasa sedikit asin, tanpa rumput laut, salmon, ataupun tuna sebagaimana biasanya onigiri, para pengungsi menyambutnya dengan membungkukkan tubuh sambil mengucapkan arigato gozaimashu atau terima kasih.

Setelah itu, diumumkan bahwa sup telah disiapkan. Sup yang pertama setelah seminggu gempa. Dengan tertib, mereka pun antre. Tak ada yang berebut.

Kebersahajaan di tengah bencana itu seperti yang terlihat dari keluarga kecil yang berada tepat di samping matras para pelaut Indonesia. Mereka menyiapkan jamuan makan malam seperti tengah berada di rumah.

Sebelumnya, sang ayah dan ibu hilir mudik antre untuk mengambilkan sup dan minuman buat sang anak. Mereka bersama mengucap doa sebelum jamuan makan malam sederhana itu; itadakimasu, yang artinya kira-kira aku sangat bersyukur atas makanan ini. Dan, sesudahnya kembali mereka mengucapkan kata syukur; goschisosamadeshita atau terima kasih atas makanannya.

Irham dan para pelaut Indonesia mengaku kagum dengan kekuatan orang Jepang dalam menghadapi bencana. ”Mereka kesusahan, tetapi tetap kuat dan tertib,” ujarnya.

Kenangan itu tak pernah bisa dilupakannya, kenangan yang akan terus tertanam di benaknya, tentang kebesaran hati untuk berbagi di saat yang tersulit sekalipun....

Sumber

Jumat, 18 Maret 2011

ANJING YANG SELAMAT DARI TSUNAMI, MENGHARUKAN!!!

DARI Negara jepang baru saja dilanda tsunami yang begitu luar biasa. tapi, ada satu kisah yang menarik dan sangat mengharukan


Kisah mengharukan soal korban selamat gempa dan tsunami dahsyat di Jepang bukan cuma tentang manusia. Dua ekor anjing yang ditemukan di kota Arahama memperlihatkan bagaimana kesetiaan hewan berkaki empat itu terhadap rekannya yang terluka.

Kisah ini ditemukan dua reporter dari laman Jezebel. Mereka tiba di kota Aramaha yang sudah porak poranda dihantam gempa dan tsunami. Di depan reruntuhan bangunan, mereka melihat dua ekor anjing.

Kedua anjing itu tampak kusam dan kotor. Mereka secara luar biasa bisa selamat dari tsunami. Seekor anjing yang berwarna cokelat putih masih sanggup berdiri dan berlari-lari. Sementara seekor lainnya yang berwarna putih tampak kesakitan, hanya bisa rebah di dekat tong besar. Yang mengharukan adalah, anjing cokelat itu terlihat menjaga anjing putih yang sedang kesakitan.

Berikut transkrip percakapan dua reporter Jepang tersebut:

Reporter 1: Kami sedang di area Arahama. Eh lihat itu ada anjing. Dia tampak kelelahan dan sangat kotor. Dia pasti korban tsunami. Kotor banget bulunya.

Reporter 1: Anjing itu punya kalung berwarna perak. Dia pasti peliharaan seseorang. Lihat dia gemetar. Dia terlihat ketakutan.

Reporter 1: Eh lihat ada anjing lagi di dekat anjing yang cokelat. Apakah yang satu itu sudah mati?

Reporter 2: Di mana?

Reporter 1: Itu tepat di samping anjing yang tadi. Dia tidak bergerak. Apakah dia masih hidup?

Reporter 1: Anjing yang cokelat itu berdiri di depan anjing yang terbaring. Dia tampak melindunginya.

Reporter 1: Iya.. Dia melindungi rekannya yang sakit. Itu kenapa dia tidak membolehkan kita mendekat. (Ketika adegan ini, anjing cokelat menghampiri dua reporter televisi dan kembali lagi ke anjing yang sedang sakit).

Reporter 1: Aduh ini sangat mengharukan…

Reporter 1: Eh lihat itu.. anjing yang terbaring itu bergerak.. Wah dia masih hidup rupanya, syukurlah. (Ketika adegan ini, si anjing cokelat terlihat mengusap kepala si anjing putih yang sudah bergerak-gerak)

Reporter 2: Iya bagus lah. Kita harus segera memindahkan anjing-anjing ini. Oh dia bangun.. anjing yang sakit itu berusaha berdiri..

Reporter 1: Sangat mengagumkan bagaimana kedua anjing ini bisa selamat dari gempa dan tsunami. Sangat mengagumkan.

Kabar terakhir dari Arahama, kedua anjing itu akhirnya diselamatkan regu SAR. Kini mereka dirawat di rumah sakit setempat untuk memulihkan kondisinya. Kedua anjing itu selamat.

Jepang sebelumnya terkenal dengan kisah anjing yang setia kepada tuannya. Kisah anjing Hachiko itu menggemparkan Jepang karena dia menunggu

Kamis, 10 Maret 2011

CIPUTRA : AYO DONK JADI WIRAUSAHA




Indonesia dinilai mengalami krisis enterprenuer. Jumlah pemuda yang berwirausaha sangat minim dibandingkan negara lain. Padahal dengan lebih banyak enterprenuer, Indonesia bisa lebih maju karena banyak tercipta lapangan kerja baru. Bukan pencari kerja.

Menguktip kalimat seorang Ir Ciputra, enterprenuership di Indonesia sudah gawat betul. Ini menjadi penggambaran yang tepat, karena semakin banyak lulusan perguruan tinggi berorientasi jobs seeker (pencari kerja) daripada jobs created (pencipta lapangan kerja).

"Kondisi enterprenuer saat ini, saya sedih," kata Ciputra di hadapan Developer muda di Balai Kartini, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu (9/3/2011).

Dalam diskusi, Ciputra yang berusia lanjut tetap lantang menyampaikan pemikirannya tentang enterpreneurship. Menurutnya, seseorang baru bisa disebut enterpreneur jika dapat mengubah 'kotoran' menjadi emas.

Kotoran yang dimaksud Ciputra adalah permasalahan yang ada di sekitar. Dengan gagasan dan terobosan kreatif, bisa melahirkan solusi (emas) bagi orang lain.

"Kreatif saja tidak cukup, tapi harus dipandang orang lain. Kalau belum didatangi pelanggan, berarti belum selesai," tambahnya.

Untuk menciptakan jiwa enterprenurship, tidak cuma kemauan tinggi. Namun harus berani menghadapi tantangan ke depan dan percaya diri.

Apa itu cukup? Ternyata ada hal lain yang luput dari konsep berfikir wirausaha, yaitu kurikulum yang tepat. Pendidikan Indonesia masih belum mengintegrasikan pendidikan enterpreneur, mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan tinggi.

"Sekarang banyak orang masuk di business school (sekolah bisnis). Tapi lulusannya lebih memilih jadi profesional, dibandingkan enterpreneur. Jadi perlu integrasikan enterprenuer sejak dini. Business school itu beda dengan enterprenuer school," tutur Ciputra.

Dalam diskusi, banyak pertanyaan yang terlontak dari peserta. Pada umumnya peserta diskusi meminta nasihat kepada Ciputra, bagaimana memulai suatu usaha. Bagi profesional yang sudah berpengalamanpun, enggan memulai bisnis. Ada ketakutan dengan memulai dari nol, bisnis akan gagal. Di sisi lain, penanya sudah mendapatkan kenyamanan berupa fasilitas dan gaji cukup tinggi.

"Pak Ci, saya anggap bapak jadi panutan saya. Namun sulit rasanya untuk memulai bisnis, meski ada tawaran dari banyak teman?," kata salah satu peserta.

Apa jawaban Ciputra? "Bagaimana takut berenang kalau belum coba? Namun kalau belajar dulu, berkurang. Tinggal momennya. Jika anda profesional, bisa ikut Master enterpreur atau kursus 3 bulan. Akan saya garansi, tapi Anda juga harus ikuti aturan," imbuhnya.

Pun demikian disampaikan Presiden Universitas Ciputra (UCEC), Antonius Tanan. "Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin kecil jumlah enterprenuer. Ini wajar karena di sana ada kenyamanan," kata Anton.

"Ada paradigma yang keliru. Berani atau niat, tidak hanya itu. Di tengah-tengah harus ada belajar. Bisa dari praktisi atau pengajar," tegasnya.