Coba
bayangkan jika ada seseorang pendeta yang datang masuk ke gereja, lalu ketika
melihat ada orang yang berjualan di halaman lalu menjadi marah. Tidak sampai
disitu saja, dia membuat cambuk lalu menunggangbalikkan semua meja-meja dan
memarahi orang-orang yang melakukan
perdagangan . Andi pasti langsung menghakimi bahwa penderta tersebut
berlebihan, arogan bahkan terkesan gila.
Itulah yang terjadi pada Kristus
yang tertuang dalam injil Yohanes 2 : 13-16, Kristus marah dan bertindak
seperti orang yang gila sebelum Dia akhirnya menjelaskan segala tindakan
tersebut. Marah karena Bait Allah dikotori dengan tindakan jual beli dengan
mengotori Bait Allah. Padahal Bait Allah adalah tempat yang kudus, tetapi telah
kehilangan maknanya karena perdagangan. Seringkali kita menganggap marah itu
tidak perlu, pada satu titik marah boleh saja asal dengan tujuan yang jelas.
Marahlah jika itu tindakan terakhir setelah menasehati dan menegur. Marah
jangan disertai dengan tindakan fisik tapi dengan tujuan supaya orang tersebut
bisa lebih baik. Marah jangan tentang pribadi orang tersebut, lebih kepada
tindakannya.
Akhir-akhir ini, Gubernur Ahok sering
dibilang pemarah. Menurut penulis, tidak apa-apa asal dia menegur untuk
menyatakan kebenaran dan tidak serta merta untuk tiap kali. Marah itu hal yang
lumrah. Marah karena carut marut penguasa terdahulu dalam menjalankan
pemerintahan dan untuk membangunkannya perlu dengan caraq yang diluar
kebiasaan, mungkin ketegasan dan terlihat keras. Jadi marahlah jika itu perlu
dan ini merupakan tindakan terakhir setelah upaya lain sudah dilakukan.