"…. Orang-orang di pengungsian membantu kami dengan baik dan memberi makan yang cukup. Para pengungsi lain ramah dan menyenangkan. Tetangga kami juga sangat baik, ia mengizinkan kami memompa air dari sumurnya secara gratis. Kita harus tahu bahwa kita masih memiliki rasa kebersamaan. Terima kasih semua orang!”
Masayuki Aihara, warga Fukushima -kota yang kini dalam ancaman kebocoran radioaktif dari pembangkit listrik tenaga nuklir- menulis surat pembaca di koran The Japan Times, Kamis (17/3). Ia adalah salah satu korban bencana gempa dan tsunami yang melanda Jepang, 11 Maret lalu.
”Saudara perempuan saya hidup di Sendai, kakak lelaki saya di Shiogama, dan satu saudara lainnya di Onigawa. Semua kota itu nyaris rata akibat tsunami. Saya tidak bisa menghubungi mereka melalui telepon sampai sekarang. Keluarga saya sendiri tinggal di pengungsian di dekat rumah,” tulis Aihara.
Surat pembaca itu mewakili sebagian besar suara korban bencana di Jepang. Suasana yang sama terasa di tempat-tempat penampungan di daerah terparah terpapar bencana, seperti Sendai dan Kesennuma di Prefektur Miyagi.
Nyaris tak ada keluh kesah dari korban bencana. Di tengah hujan salju dan suhu dingin yang mencapai minus 4 derajat celsius, orang-orang antre makanan dengan tertib. Di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar, ratusan mobil antre hingga lebih dari 5 kilometer, tetapi tetap berjalan dengan teratur. Tak ada yang menyerobot, tak ada teriakan kegusaran. Antrean yang sama terjadi di beberapa pusat pertokoan yang masih buka. Tertib, semuanya tertib dan berbaris rapi.
Tak ada penjarahan sekalipun sebagian di antara mereka kekurangan makan. Di kawasan pegunungan di Ichinoseki, Prefektur Iwate, beberapa orang tua memakan sayur mentah yang baru diambil dari kebun. Distribusi makanan dan bahan bakar menjadi masalah di beberapa tempat. Pemerintah Jepang dan media massa lebih tersedot perhatiannya pada kebocoran reaktor nuklir Fukushima.
Namun, saat ditawari onigiri yang kami bawa, para korban itu menolak. ”Kami masih punya nasi. Kalian dari jauh dan perjalanannya masih lama. Itu untuk bekal kalian saja atau untuk yang lebih membutuhkan,” kata sepasang kakek-nenek, yang menumpang mobil tim evakuasi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jepang. Keduanya menumpang setelah berjalan berkilometer di tengah badai salju untuk mencari keluarga mereka yang hilang.
Bersahaja
Kamis malam, suasana di pusat pengungsian kota Kesennuma, Prefektur Miyagi, tertata rapi. Anak-anak bermain di ruang khusus, yang tertutup kaca-kaca transparan, dengan berbagai macam permainan.
Orang tua yang sakit, ibu hamil, dan bayi juga mendapat ruangan khusus. Sementara di ruangan utama, ratusan orang tidur bersama tanpa sekat. Mereka menandai ruangannya berdasarkan selimut dan matras. Sepatu kotor ditata rapi di pintu masuk ruangan atau di masukkan dalam plastik di dekat tempat tidur mereka.
Di ruangan inilah 17 warga negara Indonesia yang bekerja sebagai anak buah kapal Yahata 35 turut mengungsi sejak tiga hari terakhir. ”Kami diterima dengan ramah di sini. Diberi makan dan tidak dibedakan,” kata M Irham (31), anak buah kapal asal Tegal, Jawa Tengah. Irham dan kawan-kawannya selamat dari tsunami karena berlindung di escape building, semacam bangunan parkir mobil di dermaga yang sengaja dirancang sebagai pelarian saat terjadi tsunami.
Bahkan, para korban dari Indonesia ini sedikit dimanjakan. Beberapa pengungsi yang bersimpati terkadang memberi mereka kue. ”Mereka memaksa saya agar menerima kue karena saya dianggap lebih menderita dari mereka. Alasannya, saya jauh dari keluarga,” kata Irham.
Ketika tiba saat makan, petugas membagikan dua bungkus onigiri. Walaupun hanya berupa nasi sekepal tangan dengan rasa sedikit asin, tanpa rumput laut, salmon, ataupun tuna sebagaimana biasanya onigiri, para pengungsi menyambutnya dengan membungkukkan tubuh sambil mengucapkan arigato gozaimashu atau terima kasih.
Setelah itu, diumumkan bahwa sup telah disiapkan. Sup yang pertama setelah seminggu gempa. Dengan tertib, mereka pun antre. Tak ada yang berebut.
Kebersahajaan di tengah bencana itu seperti yang terlihat dari keluarga kecil yang berada tepat di samping matras para pelaut Indonesia. Mereka menyiapkan jamuan makan malam seperti tengah berada di rumah.
Sebelumnya, sang ayah dan ibu hilir mudik antre untuk mengambilkan sup dan minuman buat sang anak. Mereka bersama mengucap doa sebelum jamuan makan malam sederhana itu; itadakimasu, yang artinya kira-kira aku sangat bersyukur atas makanan ini. Dan, sesudahnya kembali mereka mengucapkan kata syukur; goschisosamadeshita atau terima kasih atas makanannya.
Irham dan para pelaut Indonesia mengaku kagum dengan kekuatan orang Jepang dalam menghadapi bencana. ”Mereka kesusahan, tetapi tetap kuat dan tertib,” ujarnya.
Kenangan itu tak pernah bisa dilupakannya, kenangan yang akan terus tertanam di benaknya, tentang kebesaran hati untuk berbagi di saat yang tersulit sekalipun....Sumber