Sabtu, 14 Februari 2015

THE FAULT IN OUR STARS

Novel yang sudah dijadikan film ini amat menarik. Kalau biasa orang menceritakan cerita cinta antar dua orang yang sempurna, tapi novel ini bercerita tentang dua orang mengidap kanker dan saling jatuh cinta. Sang penulis, John Green, terinpirasi dari anak-anak pengidap kanker yang dia kunjungin dan sebagian dari keuntungan penjualan buku ini didonasikan untuk anak-anak yang mengalami penyakit tersebut.

Love doesn't have  to be perfect  for love to be extraordinary
 

Menonton movie tidak berbeda jauh dengan novelnya. Penilaian saya film ini berhasil mengadaptasi ke layar lebar dengan baik dimana teks-teks yang penting dimasukkan. Kata-kata yang romantis dan menggetarkan hati ditampilkan dengan indah.

Film ini bercerita tentang Hazel grace Lancaster yang menderita kanker tyroid stadium akhir. Kondisi ini membuat Hazel harus membawa tabung oksigen kemana-mana yang cukup merepotkan. Didalam masa penyembuhan, Hazel yang uring-uringan disarankan oleh ibunya masuk klub perawatan penderita kanker. Disana dia bertemu Augustus yang menderita kanker Tulang. Pertemuan yang menyenangkan dan mereka saling jatuh cinta

H
azel dan Gus saling mengisi satu dengan yang lain. Gus berusaha mewujudkan Hazel dengan bertemu penulis buku kesukaan Hazel. Walau setengah mati menghampiri penulis yang berada di Amsterdam, Hazel berhasil mewujudkan impian. Walau ada kekecewaan setelah bertemu dengan sang penulis, tapi Gus berhasil menyakinkan Hazel dialah orang yang dia tunggu-tunggu. Akhirnya Gus meninggal mendahului Hazel.

Film ini berhasil menampilkan beberapa adegan romantis dibumbui dengan teks yang amat memikat. Melihat film ini membuat kita berkaca bahwa cinta itu tidak mengharapkan kesempurnaan seseorang tapi  bisa melihat dari sisi lain. Terkadang kita menharapkan yang terbaik dari seseorang tanpa kita juga menjadi yang terbaik. Kisah cinta ini amat indah. Didalam kesusahan bisa menemukan kesenangan. Jadi, selamat mengasihi didalam kekurangan tiap- tiap pribadi :) 






 What?” I asked.
“Nothing,” he said.
“Why are you looking at me like that?”
Augustus half smiled. “Because you’re beautiful. I enjoy looking at beautiful people, and I decided a while ago not to deny myself the simpler pleasures of existence.    
      

 That’s the thing about pain,” Augustus said, and then glanced back at me. “It demands to be felt.”    


I’m in love with you,” he said quietly.
“Augustus,” I said.
“I am,” he said. He was staring at me, and I could see the corners of his eyes crinkling. “I’m in love with you, and I’m not in the business of denying myself the simple pleasure of saying true things. I’m in love with you, and I know that love is just a shout into the void, and that oblivion is inevitable, and that we’re all doomed and that there will come a day when all our labor has been returned to dust, and I know the sun will swallow the only earth we’ll ever have, and I am in love with you.”       

  
I’m sorry,” I said again.
“Me too,” he said.
“I don’t ever want to do that to you,” I told him.
“Oh, I wouldn’t mind, Hazel Grace. It would be a privilege to have my heart broken by you.”   

There are days, many of them, when I resent the size of my unbounded set. I want more numbers than I’m likely to get, and God, I want more numbers for Augustus Waters than he got. But, Gus, my love, I cannot tell you how thankful I am for our little infinity. I wouldn’t trade it for the world. You gave me a forever within the numbered days, and I’m grateful.”   


 What else? She is so beautiful. You don’t get tired of looking at her. You never worry if she is smarter than you: You know she is. She is funny without ever being mean. I love her. I am so lucky to love her, Van Houten. You don’t get to choose if you get hurt in this world, old man, but you do have some say in who hurts you. I like my choices. I hope she likes hers.

Tidak ada komentar: